Cerpen : Peluh Ayah Tercinta
Love Ayah (Sumber : Pixabay) |
Matahari
perlahan mulai menghiasi pagi. Sinar indahnya memberikan nuansa yang indah nan
menawan. Begitu menakjubkan keindahan alam yang Engkau ciptakan ini Ya
Allah. Izinkan kami mengawali cerahnya
pagi dengan semangat yang baru.
Ayah
sudah berkemas sejak subuh tadi. Jarak rumah ke kantor ayah memang cukup
jauh, dengan berkendara motor tuanya
sekitar sejam setengah waktu tempuhnya. Namun, ayah tidak pernah mengeluh.
"Ayah,
sudah akan berangkatkah? Sepertinya
masih terlalu pagi, " tanyaku sambil menjelaskan.
"Ayah
memang ingin berangkat lebih pagi. Kemarin dapat info kalau hari ini akan ada
demo, jadi lebih baik ayah lebih cepat berangkatnya," jelas ayah.
"Hati-hati
di jalan Ayah. Nanti sore pulang seperti biasakan, jadi bisa salat Maghrib
bersama deh," pintaku.
Ayah
hanya mengangguk dan bergegas menuju ke motor. Jaket yang berada di atas meja tak
lupa beliau kenakan kemudian memanaskan motor sesaat. Ibu pun segera
menghampiri ayah, memberikan botol minum yang sudah disiapkan sebelumnya.
"Indah,
segera salam dengan Ayah, terus mandi ya
sayang," jelas Ibu yang melihatku terduduk menahan kantuk.
"Iya
Bu, tapi Indah masih ngantuk, bolehkan habis salat, tiduran dulu
sebentar," jawabku memohon.
Ibu
menggeleng.
"Ayo
sana, nanti malah kesiangan ke sekolah," jelas Ibu lagi.
Dengan
berat menahan kantuk, aku pun melangkah untuk salam dengan ayah yang akan
segera berangkat.
"Indah,
Ayah berangkat dulu ya. Sekolah yang serius dan jangan tidur lagi setelah ini,
nanti telat ke sekolah," jelas Ayah.
Aku
pun mengangguk dan melambaikan tangan saat ayah berangkat.
*********
Matahari
semakin siang menunjukkan sinarnya yang menyala. Hariku sekolah semakin hari makin
terasa padat. Maklumlah sudah kelas 9, jadi ada saja harus segera diselesaikan baik
tugas ataupun persiapan materi untuk ujian harian. Waktu UAS juga semakin
dekat, kemudian akan di lanjut dengan ujian praktek dan ujian kelulusan
sekolah.
“Indah,
kamu sudah belajar untuk ujian kimia besok?” tanya Ira yang duduk di
belakangku.
“Entahlah
... Di bilang sudah belajar, ya masih ada saja yang kurang paham, tapi di
bilang belum belajar, bingung juga mau belajar yang mana. Bukanlah yang penting
kita paham akan apa yang sudah diajarkan Pak Rustam,” jawabku agak menyerah.
“Iya,
aku juga bingung. Bagaimana tidak, semua materi sebagian besar hanya ada di
catatan. Di buku hanya untuk latihan soal dan tidak lengkap pula,” sambung Nia
yang duduk di sebelahku.
“Ya
sudah, nanti setelah jam pulang kita diskusi bareng saja yuk! Daripada bingung
dan tidak jelas,” jawab Ira lagi berusaha menjadi penengah akan kondisi yang
kami alami.
Sesuai
kesepakatan, saat jam pulang kami berkumpul di kelas untuk berdiskusi materi
pelajaran kimia yang akan di uji setelah jam istirahat ini. Ira menjelaskan
beberapa soal yang kurang aku mengerti dan Nia juga membantu Ira menyelesaikan
soal yang agak rumit lagi. Kami saling membantu satu sama lain.
Tanpa
terasa waktu sudah beranjak sore, sesaat aku melihat jam tangan dan benar saja,
saat ini sudah jam 4 sore. Segera aku memberi kode pada teman-teman agar kita
bisa segera pulang. Besok kami masih bisa diskusi bareng lagi sebelum ujian di
mulai. Kamipun berpencar menuju ke rumah
masing-masing.
Semakin sore arus kendaraan akan semakin padat. Semua orang berpacu cepat untuk segera sampai di rumah masing-masing. Ingin segera kumpul bersama keluarga. Macet membuat letih yang dirasa semakin menumpuk.
Senja
nan cantik terlihat menyurut. Matahari mulai membenamkan diri dan waktu akan
berganti menjadi malam.
“Assalamualaikum,
Ibu ... Ibu?” sapaku saat masuk dalam rumah, tapi terasa sepi.
Suara
jawaban tidak terdengar juga, segera kaki ini melangkah ke kamar untuk
merebahkan diri, tapi tidak berapa lama tersnegar suara Ibu memberi salam.
“Assalamualaikum,
Indah sudah pulang ya?”
“Waalaikumsalam, Ibu dari mana saja? Aku cari
kemana-mana , tapi tidak ada juga.”
“Ibu
tadi ke rumah Bu Diro, beliau sedang kurang enak badan,” jelas Ibu.
“Lalu
bagaimana keadaannya Bu?” tanyaku penasaran.
“Sudah
lebih baik, beliau punya maag dan tadi pagi tidak sempat sarapan, jadi maagnya
kambuh,” jelas Ibu.
“Sudah
sana mandi, bau nih. Ibu mau buat tempe mendoan ya, kan sebentar lagi ayah juga
pulang,” jelas Ibu lagi.
Tanpa
banyak bicara, akupun segera menuju kamar mandi. Segarnya.
“Bu,
mana tempe mendoannya, sudah jadikah? Indah buat kecap pedasnya ya.”
Tak
terdengar suara ibu, sedang pergikah beliau?
“Ibu
kenapa? Telepon dari siapakah yang Ibu terima?” tanyaku saat melihat Ibu
terduduk di ruang tengah.
“Indah,
kamu mau ikut Ibu atau di rumah? Ayah kecelakaan,” jawab Ibu.
Aku
terkaget mendengar jawaban yang Ibu sampaikan.
“Baru
saja ayah memberi kabar. Ayah di rawat di rumah sakit, jadi Ibu akan segera
menyusul. Kalau kamu mau ikut, ayo segeralah berkemas, Ibu juga akan menyiapkan
segala untuk keperluan ayah.”
Akupun
mengangguk dan segera menuju ke kamar untuk bersiap-siap.
Sejenak
aku terduduk. Apa yang dialami ayah?
Teringat
tadi pagi aku sempat berbincang dan meminta ayah segera pulang agar kami bisa
salat Maghrib bersama, tapi apa yang terjadi saat ini. Ayah mengalami
kecelakaan dan belum jelas bagaimana kondisinya. Ayah, engkau bekerja seharian
untuk membahagiakan keluargamu, memenuhi semua kebutuhan kami dan terus
berjuang tanpa mengeluh. Peluh yang membasahi pakaian tidak membuat engkau
menyerah. Engkau sangat tegar dan kuat.
Ayah
....
Tidak ada komentar:
Silahkan tinggalkan pesan dan tunggu saya approve komentar kamu.
Terima kasih atas pesan yang disampaikan